Minggu, 15 November 2009

Efek Samping Obat

DEFINISI
menjalankan praktek, dokter harus selalu mempertimbangkan reaksi efek samping obat dalam pertimbangan diagnosis klinis suatu kasus penyakit. Terdapat berbagai literatur internasional yang membahas efek samping obat, yang meliputi definisi, petunjuk, serta hubungan sebab-akibat . Definisi mengenai efek samping obat dan hal-hal yang berkaitan dengannya dibawah ini adalah yang berdasarkan dari definisi menurut WHO tahun 1991.
Adverse Drug Reaction / ADR didefinisikan sebagai reaksi yang tidak dikehendaki dan bersifat merugikan akibat respon pemakaian obat pada dosis sesuai anjuran pada manusia untuk keperluan terapi, profilaksis, diagnosis, maupun untuk modifikasi fungsi fisiologis.
Unexpected Adverse Reaction, yaitu suatu bentuk ADR yang bentuk dan tingkat keparahannya tidak sesuai dengan apa yang tertulis pada label pemasaran suatu jenis obat, atau karakteristiknya tidak sesuai dengan yang diharapkan dari obat tersebut.
Adverse Event / Adverse Experience, yaitu suatu reaksi yang timbul pada uji kinik obat baru yang belum jelas hubungan kausalnya dengan obat tersebut.
Side Effect, yaitu berbagai efek yang tidak dikehendaki dari suatu obat yang terjadi pada pemakaian dosis normal pada manusia, berkaitan kandungan zat pada obat tersebut.
Signal, yaitu laporan yang berisi informasi mengenai faktor-faktor yang diduga penyebab efek samping, yang sebelumnya belum diketahui atau tidak lengkap terdokumentasi. Biasanya diperlukan lebih dari satu laporan kasus, tergantung dari tingkat keparahan dan kualitas informasi yang didapatkan.

Penilaian dugaan terjadinya Adverse Reactions
1. Certain : Kejadian klinis termasuk gambaran hasil laboratorium abnormal, terjadinya berhubungan dengan jarak waktu pemberian suatu jenis obat tertentu, tetapi efek yang terjadi tidak dapat ada kaitannya dengan penyakit yang diderita atau dengan obat yang lainnya. Efek yang diakibatkan obat tersebut dapat dibuktikan secara farmakologi dan fenomenologi. Apabila pemberian obat yang dicurigai dihentikan, akan terjadi respon (dechallenge +).
2. Probable / likely : Kejadian klinis termasuk gambaran hasil laboratorium abormal, diduga (kemungkinan besar) berhubungan dengan waktu pemberian suatu obat, sangat kecil kemungkinan kaitan dengan efek penyakit yang diderita atau dari jenis obat lainnya, yang akan terjadi respon apabila pemberian obat itu dihentikan (dechallenge).
3. Possible : Kejadian klinis termasuk gambaran hasil laboratorium abnormal dengan dugaan berhubungan dengan pemberian suatu jenis obat, tapi masih ada kemungkinan kaitan dengan efek penyakit yang diderita.
4. Unlikely : Kejadian klinis termasuk gambaran hasil laboratorium abnormal, hubungan antara pemberian obat tertentu bersifat temporal sehingga dugaan kaitan dengan obat tersebut kecil, tapi besar kemungkinan berkaitan dengan penyakit yang diderita.
5. Conditional / unclassified : Kejadian klinis termasuk gambaran hasil laboratorium abnormal, namun belum ada data yang jelas mengenai kaitan hubungan sebab-akibat dengan pemberian obat.
6. Unassesable / unclassifiable : Suatu laporan dugaan efek samping obat, tapi tidak dapat dinilai kaitan hubungan sebab-akibat dari pemberian suatu obat tersebut dikarenakan tidak cukupnya informasi yang diperoleh atau kontradiksi, sehingga data tersebut tidak dapat diverifikasi.
Faktor Resiko Terjadinya Efek Samping Obat
Efek samping obat lebih sering dijumpai pada neonatal dan usia lanjut. Pada neonatal, enzim-enzim yang berperan dalam metabolisme dan eliminasi obat di hati dan ginjal belum berfungsi secara optimal, dan clearance berbagai obat dari tubuh jauh lebih kecil dibandingkan dengan pada orang dewasa. Pada orang usia lanjut terjadi perubahan pada fungsi hati dan ginjal sehingga terjadi penurunan fungsi eliminasi obat dari tubuh.
Dari berbagai laporan kasus, ternyata wanita dilaporkan memiliki angka kejadian 50 % lebih tinggi dibandingkan pria. Hal ini diperkirakan berkaitan dengan peningkatan farmakokinetik obat yang dialami oleh wanita dalam hidupnya pada masa-masa tertentu yaitu menarche, hamil, melahirkan, laktasi, dan menopause (Wilson 1984).
Riwayat penyakit alegik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya reaksi efek samping obat. Hal ini kemungkinan ada kaitannya antara tingginya kadar IgE dengan peningkatan reaksi anafilaktik.
Faktor genetik diduga merupakan faktor predisposisi penting terjadinya efek samping obat.
Jalan masuk pemberian obat dapat mengakibatkan perubahan bioavailabilitas obat. Sebagai contoh adalah buruknya absorbsi obat melalui injeksi intramuskuler pada saat terjadinya syok kardiovaskuler.
Klasifikasi Efek Samping Obat
Efek samping obat dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Tipe A : Bersifat intrinsik, bergantung dari konsentrasi, dosis, serta bahan-bahan kimia yang dikandung oleh suatu jenis obat. Umumnya merupakan kelanjutan khasiat terapetik. Kejadiannya dapat diprediksi sebelumnya. Insidens tipe ini paling tinggi.
2. Tipe B : Bersifat idiosinkratik, tidak tergantung dosis, bersifat individual, kejadiannya sulit untuk diprediksi. Beberapa kejadian berkaitan dengan defisiensi enzim kongenital seperti glucose-6-phosphate dehydrogenase yang mengakibatkan kerusakan sel eritrosit akibat reaksi oksidatif dari obat-obat tertentu.
3. Tipe Withdrawal : Akibat obat yang telah lama digunakan dihentikan penggunaannya secara tiba-tiba. Contohnya adalah obat narkotika, pil KB, kortikosteroid.
Dasar Etiologi dari Efek Samping Obat
Secara dasar etiologi reaksi efek samping dapat diklasifikasi menurut terjadinya menjadi:
a. Kelainan yang diturunkan (inherent anomalies)
Reaksi yang terjadi karena alergi atau idiosinkrasi, termasuk pada mereka dengan factor genetic, atau variasi fisiologis seperti umur, gender, dan kehamilan
b. Kelainan pasien yang didapat (acquired patient abnormalities)
Reaksi ini dikarenakan adanya penyakit yang sedang diderita dapat mengubah respon terhadap suatu obat
c. Kelainan karena bentuk sediaan obat dan cara pemberiannya
Reaksi yang terjadi karena dosis yang berlebih, perubahan karakteristik bioavailabilitas. Seperti bentuk sediaan baru, perubahan excipient (bahan2 inaktif dalam obat), cara pemberian yang salah dan kesalahan pengobatan.
d. Interaksi obat
Reaksi ini terjadi akibat efek lebih dari satu obat yang diresepkan/diberikan pada saat yang sama.
e. Reaksi tidak langsung
Reaksi ini terjadi tidak secara langsung pada pasien yang minum obat tersebut tapi meyebabkan efek kepada organisme yang lain contoh : fetus, bayi yang sedang disusui, flora normal pada saluran cerna.
Faktor determinan dari adverse reactions
Semua efek obat merupakan hasil interaksi yang kompleks antara obat, pasien, penyakit dan sejumlah factor ekstrinsik baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui yang dapat mengubah respon obat.
a. Onset of reactions
Respon abnormal dari suatu obat dapat terjadi pada setiap waktu pemberian. Baik diawal maupun setelah obat dihentikan pemakaiannya.
Banyak reaksi terjadi pada awal pemberian obat seperti reaksi anafilaktik atau reaksi-reaksi yang terjadi akibat gangguan enzim.
Adverse reactions bisa terjadi setelah terapi jangka panjang seperti corticosteroid yang menimbulkan katarak subcapsular atau posterior.
Reaksi lain dapat muncul jauh hari setelah obat dihentikan seperti vaginal cancer pada anak karena penggunaan estrogen pada ibu saat hamil.
b. Dosis obat yang diberikan
Beberapa efek obat tergantung pada dosis. Namun demikian ada dosis obat yang ditoleransi oleh satu pasien tapi memberikan adverse effect pada pasien yang lain. Karenanya suatu perhatian khusus harus diberikan pada peresepan obat untuk anak-anak kecil dan orang tua, atau pada mereka yang menderita gangguan fungsi ekskresi (liver dan ginjal).
c. Umur
Adverse reactions lebih sering terjadi pada usia yang sangat muda atau pada orang tua. Hal ini disebabkan penurunan fungsi fisiologis yang menghambat eliminasi dari obat. Sehingga diperlukan penyesuaian dosis obat.
d. Penyakit dan kondisi patofisiologis
Adanya penyakit dasar dapat mengubah farmakokinetik atau sensitivitas jaringan yang pada akhirnya menimbulkan perubahan respon obat dan munculnya adverse drug reactions. Kehamilan dan persalinan juga dapat merubah respon suatu obat.
e. Gender
Adverse reactions lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria. Hal ini berkaitan dengan terapi obstetrik dan kondisi ginekologis. Wanita juga lebih banyak mencari pertolongan medis sehingga lebih sering mendapat terapi obat-obatan. Faktor genetic terkait gender juga dapat menyebabkan perbedaan ini.
f. Riwayat alergi atau adverse reactions sebelumnya
Adverse reactions cenderung lebih sering dijumpai pada pasien dengan riwayat alergi terdahulu. Hal ini berkaitan dengan pasien dengan level IgE yang tinggi.
g. Multiple drug therapy / polifarmasi
Insidens adverse reaction meningkat dengan terapi multi drug. Hal ini dapat terjadi akibat pemberian obat untuk beberapa penyakit pada satu pasien.
h. Faktor genetik dan etnik
Karakteristik yang diturunkan dapat menyebabkan adverse reactions dengan merubah farmakokinetik dan suatu obat atau dengan merubah respons jaringan terhadap obat tersebut.
Perbedaan pada oksidasi dan asetilasi di hepar dapat terjadi pada individu yang berbeda. Proporsi slow mebolisers dapat berbeda antara satu etnik dengan etnik lain.
ALERGI OBAT (HIPERSENSITIFITAS)
Alergi obat bentuknya sangat bervariasi. Berdasarkan klinis bentuknya dapat berupa reaksi anafilaksis, bronkospasme, dermatitis, demam, granulositopenis, anemia hemolitik, hepatitis, lupus erythematosus-like syndrome, nefritis, pneumonitis, trombositopenia, dan vaskulitis. Beberapa bentuk klinis dapat muncul dalam waktu yang bersamaan. Mekanisme terjadinya reaksi ini masih kontroversial, namun beberapa diantaranya diperantarai oleh pengaktifan hapten-specific T cells (Kapsenberg 1996).
Patofisiologi
Pada umumnya suatu molekul organik harus memiliki bobot massa sekurangnya 1000 dalton untuk dapat mencetuskan respon imun tubuh. Namun terdapat beberapa pengecualian seperti pada molekul nonorganik yang kecil atau hapten, harus membentuk ikatan kovalen dengan makromolekul carrier endogen untuk suatu konjugat obat-carrier untuk mencetuskan respon imun. Konjugat obat-carrier ini dapat menjadi imunogen dan mencetuskan respon antibodi spesifik (humoral) maupun respon spesifik T-lymphocyte (seluler) (Lien 1987). Interaksi antara konjugat hapten dan antibodi harus terbentuk pada tempat tertentu untuk dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan terjadi proses inflamasi.
Hipersensitifitas dapat diklasifikasi dalam beberapa tipe yaitu :
1. Tipe I (reaksi anafilaktik) : merupakan reaksi hipersensitifitas tipe cepat, diperantarai oleh IgE. Reaksi terjadi akibat pelepasan histamin, leukotrien, prostaglandin, platelet-activating factor, serta eosinophilic chemotactic factor yang berasal dari IgE sel basofil dan sel mast setelah terpapar dengan antigen spesifik.
2. Tipe II (reaksi sitotoksik) : merupakan reaksi sitolitik yang melibatkan sistem komplemen. Contohnya adalah kerusakan sel akibat reaksi antigen-antibodi pada anemia hemolitik Coombs-positif, leukopenia, pemfigus, pemfigoid, Goodpasture’s syndrome, dan anemia pernisiosa.
3. Tipe III (serum sickness) : reaksi yang mengakibatkan deposisi kompleks antigen-antibodi yang terlarut dalam pembuluh darah atau jaringan tubuh. Contohnya pada systemic lupus erythematosus berupa poliartritis, glomerulonefritis membranoproliferatif kronik, dan lain-lain.
4. Tipe IV (hipersensitifitas lambat) : reaksi ini disebabkan sensitisasi limfosit (sel T) setelah kontak dengan antigen. Berbeda dengan tipe-tipe sebelumnya, pada tipe ini tidak diperantarai oleh antibodi tapi oleh limfosit dengan leukosit atau faktor transfer, tetapi bukan dengan serum. Contohnya adalah dermatitis kontak, sensitifitas obat tertentu, tiroiditis.
BERBAGAI BENTUK EFEK SAMPING OBAT PADA ORGAN TUBUH
Toksisitas Dermatologik
Reaksi pada kulit yang diinduksi oleh obat dapat berupa kelainan tersendiri maupun bagian dari gannguan sistemik serius yang melibatkan organ ginjal, hati, paru-paru, maupun hematologik. Beberapa contoh obat yang menyebabkan reaksi alergi di kulit adalah penisilin, sulfonamid, diuretik, antikonvulsan, dan nonsteroidal anti inflammatory drug (NSAID). Obat yang dicurigai harus segera dihentikan pemakainnya dan harus diganti dengan obat lain yang komposisi kimianya berbeda. Kelainan pada kulit dapat berbentuk dermatitis eksfoliatif, yang dapat diatasi dengan pemberian obat topikal. Pada bentuk nekrolisis epidermal toksik, pasien harus diisolasi untuk meminimalisasi terjdinya infeksi eksogen, dan penatalaksanaanya srupa dengan penatalaksanaan kasus luka bakar. Bentuk lain yang sering ditemukan adalah vaskulitis pada kulit, yaitu yang mengenai venula postkapiler. Manifestasinya berupa purpura yang ditemukan pada ekstremitas bawah.
Ototoksisitas
Kelainan ini berhubungan dengan gangguan auditorik atau fungsi vestibuler, yang terkadang bersifat ireversibel. Kelainan yang ditemukan dapat berupa gannguan keseimbangan, tinitus, bahkan sampai tuli permanen. Contoh obat yang menyebabkan kelainan ini adalah antibiotik gol aminoglikosida, antimalaria. Anti inflamatorik, antineoplastik, diuretik, beberapa obat topikal, serta logam berat (Lien,1983). Jenis obat yang paling sering dijumpai adalah aspirin dan streptomisin.
Toksisitas okuler
Berbagai obat sistemik maupun topikal dapat menyebabkan berbagai komplikasi pada mata. Kelaian yang banyak dijumpai berupa pandangan buram (blurred vision), buta warna, skotomata, degenerasi retina, serta kelainan pada kornea, sklera, lensa, syaraf optik, serta otot ekstra okuler. Beberapa kelainan bersifat sementara, namun adapula yang menyebabkan kerusakan mata parah dan ireversibel. Berbagai contoh obat penyebab toksisitas okuler adalah glikosida digitalis, turunan fenothiazine, kloroquin, quinin.
Nefrotoksisitas
Banyak obat yang dapat menyebabkan disfungsi ginjal, misalnya NSAID, penisilin, gol sefalosporin, gol aminoglikosida, amfoterisin B, vankomisin, cisplastin, cyclosporine, dan beberapa radiokontrast. Kelainan yang ditemukan dapat berupa azotemia prerenal, nekrosis tubular akut, obstruksi intratubuler, nefrolitiasis, nefritis interstisial akut dan kronis.
Toksisitas hemopoietik
Sistem hemopoietik sering menjadi sasaran toksisitas berbagai obat berupa penekanan fungsi elemen darah dan susmsum tulang. Beberapa obat berhubungan dengan reaksi idosinkrasi. Kelainan yang banyak dijumpai berupa anemia aplastik, trombositopenia, gangguan koagulasi serta agranulositosis. Beberapa contoh obat penyebab antara lain aspirin, karbenisilin, gol sefalosporin, kloramfenikol, rifampisin, thiazide, thiouracil, quinine, sulfasalazin, trimethoprim-sulfamethoxazole, phenilbutazone, cimetidine.
Kardiotoksisitas
Mekanisme terjadinya kardiotoksisitas belum sepenuhnya diketahui. Terdapat teori yang menyatakan mengenai hubungan dengan overload kalsium pada myosit, pembentukan radikal bebas, serta kardiotoksisitas akibat metabolit gugus C-13 hidroksil dari doxorubicin. Toksisitas akut dapat dinilai dari perubahan gambaran EKG berupa abnormalitas gelombang ST-T nonspesifik, pemanjangan kompleks QRS, voltage rendah, disritmia, miokarditis, dan disfungsi otot jantung transient. Toksisitas kronik berhubungan dengan dosis kumulatif obat, yang seringkali menyebabkan kardiomiopati kongestif fatal (Mushlin and Olsen 1988). Contoh obat yang sering menyebabkan kardiotoksisitas adalah anthracycline, doxorubicin, cyclophosphamide, fenothiazine.
Toksisitas pulmoner
Reaksi efek samping pulmoner harus selalu menjadi pertimbangan diagnostik apabila penyebab penyakit respiratorik tidak dapat dibuktikan dengan jelas. Reaksi pulmoner yang sering dijumpai dapat berupa ashma serta pembentukan infiltrat. Kelainan klinis yang ditemukan berupa pneumonitis-fibrosis, bronkiolitis obliterans, hipersensitifitas paru, serta edema pulmoner nonkardiogenik. Beberapa contoh obat penyebab antara lain carbamazepin, chlorpropamide, nitrofurantoin, heroin, chlordiazepoxide, kontrasepsi oral.
PENDEKATAN SISTEMIS PENCEGAHAN EFEK SAMPING OBAT
Pada umumnya usaha prefentif selama ini lebih ditekankan kepada pelatihan tenaga kesehatan dalam upaya untuk tidak melakukan kesalahan, dan memberi hukuman apabila orang tersebut diketahui melakukan kesalahan. Tidak mengherankan jika orang cenderung menyembunyikan kesalahan dalam terapi, yang mempersulit untuk identifikasi dan koreksi apabila ditemukan kasus efek samping obat. Profesi medis telah di cap luas seringkali melakukan hal tersebut. Upaya edukasi diperlukan tidak hanya dalam kuliah kedokteran, seminar, serta masmedia, tetapi diperlukan upaya edukasi per individual yang juga melibatkan tenaga farmasi. Sayangnya upaya edukasi dalam bentuk kuliah ataupun simposium yang relatif tidak mahal efek yang didapat hanya relatif jangka pendek. Pendekatan individual seperti yang dilakukan oleh detailment obat memerlukan biaya yang relatif mahal.
KESIMPULAN
Adverse Drug Reaction (ADR) dan Adverse Drug Event (ADE), keduanya adalah sangat penting dalam membahas masalah efek samping penggunaan obat. Frekwensi kejadian ADR bervariasi, tergantung dari sistem organ yang terlibat obat spesifik yang berkaitan. Pengenalan bentuk ADR yang baru dan kasusnya jarang sangat tergantung dari perkembangan informasi mengenai penggunaan obat. Oleh karena itu dibutuhkan strategi pengamatan postmarketing yang tepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar